Standar Pelaporan Keuangan Desa diperlukan dalam menyikapi kewajiban akuntabilitas dan transparansi keuangan desa. Sebagaimana amanat Undang-Undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa desa menjadi subyek pembangunan, menyebabkan aliran dana APBN kepada desa.
Setiap desa memperoleh alokasi dana dari APBN sebesar Rp1 miliar ditambah sumber dana lain, yang ditinjau dari sisi manfaat sangat luar biasa. Dengan adanya dana desa, diharapkan pengangguran dan kemiskinan berkurang. Apabila desa sejahtera terwujud semua masyarakat bahagia maka dapat dikatakan ekonomi kerakyatan sudah berhasil.
Dana desa ini harus didukung terus agar masyarakat desa tidak perlu urbanisasi ke kota. Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan adanya dana desa yang besar, dengan kondisi desa yang bermacam-macam, dengan berbagai dana pendamping yang masih banyak permasalahan serta penguatan kelembagaan yang masih baru, adalah bagaimana dengan akuntabilitasnya?
Pada 2016 (tahun kedua) ini, DJPK akan menyalurkan dana desa dengan skema 60% pada bulan Maret dan 40% di bulan Agustus yang berubah dari tahun sebelumnya yaitu 40%, 40%, dan 20%. Sampai saat ini belum banyak disalurkan karena belum ada pertanggungjawaban dana desa tahun sebelumnya (tahun 2015) yang merupakan salah satu syarat pencairan dana. Artinya, yang dibutuhkan masyarakat desa adalah laporannya dulu, sistemnya dulu, yang sesederhana mungkin. Uang masuk dari mana dan digunakan untuk apa.
Beberapa pertanyaan dari sisi akuntansi desa :
Pertama, desa sebagai entitas yang harus diaudit atau tidak? Apakah entitas akuntansi atau entitas pelaporan?
Kedua, jika memang sebagai entitas yang diaudit, apakah desa itu sendiri? Ada opini BPK untuk masing-masing desa? Atau desa bagian integral dari kabupaten/kota?
Bahwa perlu akuntabilitas keuangan desa. Namun, masalahnya siapa yang meng-approve akuntabilitasnya. Inilah yang perlu dikembangkan. Kalau pertanggungjawaban keuangan pemerintah desa diaudit BPK maka harus ada standar, apabila tidak maka cukup dengan pedoman sistem keuangan saja.
Bahwa desa itu sebagai entitas pelaporan, artinya harus membuat laporan keuangan dan melaporkannya. Pertanggungjawaban keuangan desa selama ini mengacu pada Permendagri. Desa membuat Peraturan Desa APBDes untuk penyusunan dan pertanggungjawaban.
Peran Camat akhir-akhir ini seperti tidak berfungsi, gaji besar namun tidak punya peran apa-apa. Ke depan koordinasi dan evaluasi dana desa akan diarahkan ke Camat. Apabila nanti standar akuntansi desa sudah dibuat, siapa yang meyakini bahwa desa dalam membuat laporan keuangan telah sesuai dengan standar. Telah terjadi beberapa kali sosialisasi Ikatan Akuntan Indonesia dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan tertengarai bahwa semangat desa itu luar biasa. Tertengarai pula bahwa di antara berbagai desa, terdapat kompetisi yang sehat. Tertengarai bahwa kompetisi tersebut berakibat baik pada pembangunan dan pemeliharaan fasos-fasum, antara lain ditemukan bahwa kualitas pekerjaan jalan desa menjadi lebih baik karena dikerjakan sendiri oleh desa tersebut daripada diborongkan. Dengan demikian dana desa berpotensi memberi dampak biliar atau multiplier effect. Pembangunan desa juga bertujuan memerangi pengangguran, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Bahwa untuk menyusun standar akuntansi desa, satu satunya standar setter yang dibentuk berdasar amar UU Keuangan Negara memang Komite Standar Akuntanasi Pemerintahan (KSAP). KSAP yang mesti menyusun Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa. Perlu sekali standar keuangan desa. Kemudian dasar hukumnya yaitu harus Peraturan Pemerintah.
Standar ideal adalah standar yang dibuat agar diterima (general accepted) desa se-Indonesia dengan segala heterogonitasnya. Dalam UU Desa, pendidikan minimal perangkat desa SMA sedangkan kepala desa yaitu SMP. Jadi standar dibuat sesederhana mungkin, artinya standar SMP. Yang paling penting bahwa penyusunan laporan keuangan bukan paksaan tetapi sukarela, bukan pada rule based tetapi principle based dan voluntary based. Standar Pelaporan Keuangan Desa harus dibuat se-low level mungkin, diterima semua pihak tanpa bantuan konsultan atau pakar.
Selain BPKP yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam membuat komputerisasi pedoman dan aplikasi pertanggungjawaban keuangan sesuai Permendagri, IAI juga telah memfasilitasi dan mendampingi desa. Direncanakan bahwa pada bulan Mei 2016 akan diresmikan kelembagaan atau fungsi pendamping desa, yang akan diwisuda oleh Gubernur di depan Presiden NKRI.
IAI sudah memiliki Quality Assurance, supaya terjadi sinkronisasi antar semua perwakilan IAI. Apabila ada perbedaan, dapat disamakan dalam Panduan Pendamping Desa, dengan pelatihan dan sertifikasi IAI. Bahwa KSAP sedang dalam proses penyusunan standar yang sudah dikomunikasikan dengan BPK.
Dalam area governance, KSAP membahas beberapa hal yang menyangkut aturan yang sebaiknya disusun sebagai panduan berbentuk Standar Akuntansi bagi aparat desa. Siapa dan bagaimana yang akan menyusun standar akuntansi. Meski dalam aturan UU, jelas bahwa KSAP sudah diberi tugas dan mandat untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan (SAP). Jika bicara pemerintahan maka lingkupnya Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Namun karena kesantunannya, KSAP ingin mengajak bicara agar keputusan yang diambil ownershipnya disemua regulator. Apakah implikasinya kemudian desa itu tidak akan diaudit jika tidak ada standar? Jika desa merupakan entitas sendiri yang terpisah dari kabupaten/kota, suka tidak suka harus diaudit. KSAP meneruskan rencana yang telah dilakukan. Rencana untuk terus melakukan konsultasi pada stakeholder akan terus dilakukan. Pada saatnya nanti jika akan dilakukan public hearingtentu akan disampaikan kepada stakeholder.
Bahwa kita melihat adanya fenomena dana-dana dari pemerintah ke desa. Aturan-aturan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri perlu dipayungi oleh standar. Praktik yang ada harus ada standarnya. Secara Undang-undang, standar akuntansi pemerintahan (SAP) disusun oleh Komite Standar. Dari sudut pandang proses, KSAP sudah menyiapkan tim dan melakukan riset sebagai persiapan menyusun standar akuntansi pelaporan keuangan desa. Sebagai langkah selanjutnya, KSAP ingin memastikan bahwa setiap stakeholder mempunyai kesamaan pendapat dan pikiran. Bahwa KSAP sudah menghubungi Dirjen Bina Pemerintahan Desa, untuk bersama-sama mendorong akuntabilitas di desa. Pertanggungjawaban keuangan desa diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, namun belum ada standarnya. Bagaimana kita menyamakan persepsi perlu atau tidak membuat standar. Bahwa Permendagri telah mengatur mengenai penatausahaan keuangan dan aset desa, suatu praktik yang mengarah pada sistem di desa.
Bahwa desa adalah entitas pelaporan. Dalam kerangka konseptual jelas disebutkan yang membedakan entitas akuntansi dan entitas pelaporan. Salah satu ciri dari entitas pelaporan bahwa pemimpinnya dipilih melalui pemilihan, terlepas bagaimana nanti auditnya. Desa itu adalah entitas pelaporan ada pada Paragraf 11 PSAP 11. Sebagai entitas pelaporan adalah dibiayai oleh APBN/APBD, dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, pimpinan adalah pejabat pemerintah yang diangkat dan dipilih oleh rakyat, entitas membuat pertanggungjawaban, baik langsung atau tidak langsung kepada wakil rakyat.
Mengapa perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa. Untuk desa dibuat standar sendiri, namun, jika setara Standar ETAP DSAK-IAI mungkin terlalu tinggi, lebih tepat selevel dengan standar akuntansi UMKM yang disusun IAI. Laporan ini akan memberikan gambaran tentang performance namun hanya highlight. Tidak cukup dari sisi keuangan, ada kinerja kunci dari laporan keuangan ini. Mungkin cover muka 1-2 lembar cerita apa yang dikerjakan desa dalam aspek kinerja.
Dari perspektif Kementerian Dalam Negeri, Kemendagri telah membuat Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Desa berkewajiban untuk menyampaikan laporan desa (LRA dan neraca) untuk dievaluasi oleh Kabupaten/Kota. Laporan Keuangan Desa lepas, tidak terintegrasi dan tidak digabungkan, dilampirkan juga tidak. Dalam perspektif seperti itu, desa tidak diletakkan sebagai entitas akuntansi namun entitas pelaporan. Yang minus dari regulasi adalah standar. Betul-betul baru dalam tataran sistem dan prosedur, standar pelaporan keuangan desa belum ada. Peraturan Desa ada dua ; yaitu Peraturan tentang APBDes yang dibuat dengan Badan Permusyawaratan Desa dan peraturan tentang pelaporan keuangan Desa. Permendagri memang tidak menyinggung tentang audit dan standar, hanya terbatas pada sistem.
Jika dilihat dari naturenya – transaksi bisnis pendapatan dan belanja – pemerintah desa itu independen, desa sebagai entitas pelaporan. Terpisah dari entitas kabupaten/kota. Dari sisi peraturan perundang-undangan, desa sebagai pemerintah tersendiri. Bahkan proses penganggarannya pun ada badan tersendiri. Jadi tidak masuk dalam APBD Kab/Kota. Dalam peraturan disebutkan bahwa pertanggungjawaban sampai pelaporannya di Menteri Dalam Negeri. Namun, tidak ada pernyataan harus diaudit oleh BPK dan tidak dibilang disusun sesuai standar. Hal itu menjadi salah satu lubang dari sisi peraturan perundang-undangan. Aspek ketiga yaitu kapasitas. Adanya Standar Pelaporan Keuangan Desa supaya ada acuan dalam membuat laporan keuangan desa. Jika berbentuk standar, KSAP harus melihat PSAP Nomor 01, Kerangka Konseptual dan melihat lagi aturan Pemerintah, apakah ada pembatasan ruang lingkup atau bisa dibuat standar sendiri. Walaupun di bawah kabupaten/kota tapi desa merupakan entitas sendiri yang mandiri. Kekhawatiran jika tidak ada aturan/standar – seperti pemerintah pada saat pertama kali membuat laporan keuangan – repot dalam mengisi angka-angka di neraca. Terakhir tentang kapasitas desa, jangan sampai akuntansi justru membebani penyelenggaraan pembangunan di desa. Jangan sampai sumber daya di desa habis untuk menyusun laporan keuangan saja. Desa merupakan entitas independen dan entitas pelaporan maka harus diaudit. Yang masih jadi pertanyaan, mengapa pertanggungjawabannya ke kabupaten/kota, seharusnya pertanggungjawaban keuangan desa disampaikan kepada semacam DPR/Badan Permusyawaratan Desa.
Perlunya standar pemerintah desa lebih tepat ditanggapi oleh Ditjen Bina Pemerintahan Desa sebagai end user. Dulu desa hanya mengelola 50 juta, namun sekarang mengelola hampir 800 juta. Terjadi gungangan budaya (culture shock) dalam pemerintahan desa Gubernur Jawa Timur sampai menyampaikan kepada aparat desa agar tidak takut menggunakan dana desa. Jika dibuat standar maka standar tidak terlalu tinggi dan perlu pentahapan. Jangan sampai uang di desa itu habis untuk konsultannya.
NKRI perlu standar desa dan harus ada opini dari BPK untuk Laporan Keuangan Desa. Bahwa Desa merupakan entitas independen bukan bagian dari kabupaten/kota. Berita baik bagi Pemda Kabupaten/Kota, bahwa opininya tidak dipengaruhi oleh Laporan Keuangan Desa. Independensi desa menyebabkan tidak dikaitkan dengan kabupaten/kota. Apabila laporan keuangan desa dilampirkan juga indah, tapi tanpa pengaruh opini atas kabupaten/kota.
Standar Laporan Keuangan Desa sebaiknya dibuat seringan mungkin. Mengambil hikmah bahwa standar syariah dan standar ETAP tidak perlu menggunakan fair value accounting seperti SAK (besar), Laporan Keuangan desa tak perlu akrual paripurna, apabila KSAP nanti sepakat membuat sebuah set standar lebih sederhana seperti Standar ETAP dibanding SAK (besar). KSAP selalu berjuang untuk tidak mempersulit desa, sebaliknya kalau dapat Standar Laporan Keuangan Desa meningkatkan kedigdayaan desa – sebagai ujung tombak NKRI. Dalam sejarah pembangunan standar, KSAP selalu bersinergi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Terkait akuntansi pemerintahan, semua pihak sadar, bahwa derajat dari Peraturan Pemerintah (Standar) akan mengungguli Peraturan Menteri. Maka jika ada perbedaan maka Peraturan Menteri tersebut diamandemen sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Standar). Dalam praktik yang ada sebelumnya, sudah biasa Peraturan Menteri muncul lebih dahulu daripada Peraturan Pemerintah.
Konsultan akuntansi desa sebaiknya dibatasi, jangan sampai konsultan oportunis yang memanfaatkan kesempatan aliran dana desa. Desa membutuhkan aplikasi/sistem akuntansi gratis.
Masalah sumber daya, sebagai masalah utama, APBDes dapat mengalokasikan dana pengadadaan SD Desa. Untuk pengadaan SDM, desa mungkin bisa mempekerjakan akuntan khusus yang mengurus pelaporan desa.
Gagasan pembuatan Standar Akuntansi Desa. Bahwa terkait standar pelaporan keuangan desa menurut Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi harus melihat SDM yang ada di desa, karena itu seyogyanya standar yang dibuat mewakili desa dari Sabang sampai Merauke. Bahwa Laporan Keuangan Desa itu penting, pelaporan keuangan tersebut tidak hanya sekedar pelaporan aliran dana APBN karena desa sendiri punya kepemilikan atas desa itu sendiri. Dalam pembangunan transparansi, siapa pun di desa dan masyarakat dapat melihat laporan tersebut. Standar akuntansi & pelaporan memang harus sederhana. Kementerian Desa PDTT telah menyiapkan pendamping desa, untuk kabupaten ada 4-6 orang, kecamatan 2 orang, dan 1 orang untuk mendampingi 3 desa, sehingga standar akuntansi sederhana dapat disampaikan dan dilatihkan oleh para pendamping tersebut kepada aparat dan kepala desanya.
BPKP telah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mengembangkan Sistem Informasi Keuangan Desa (SISKEUDES). Dalam aplikasi sekali entry sumber dana bisa terinput. SISKEUDES telah diuji coba di Kabupaten Mamasa. Dirjen Bina Pemerintahan Desa mengeluarkan Surat Edaran (SE) ke seluruh Gubernur dan walikota untuk mengimplementasikan SISKEUDES ke seluruh desa. Jika KSAP ingin berdiskusi BPKP membuka tangan lebar.
KSAP dapat meneruskan rencana penyusunan Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa, dan agar dalam penyusunan standar senantiasa berkoordinasi dengan para stakeholders keuangan Desa. Standar diharapkan sederhana sehingga mudah diterapkan oleh Desa.
Amar UU Keuangan Negara tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan tentang pendirian Komite Standar nan indipenden menghasilkan PP 24/2005 dan PP 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). UU Keuangan Negara tidak memberi batasan tentang entitas Laporan Keuangan. Pada tahun 2003 KSAP menetapkan entitas pelaporan Laporan Keuangan adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu kementerian, lembaga nonkementerian, kabupaten dan kota.
Desa dan kelurahan tidak disebut-sebut secara eksplisit dalam SAP umumnya, pada konsep entitas akuntansi dan/atau entitas pelaporan Laporan Keuangan Pemerintahan khususnya. Rancang bangun SAP secara eksplisit mewajibkan pemerintah pusat cq kementerian, lembaga negara non kementerian, pemerintah daerah cq kabupaten dan/atau kota mandiri.
SAP sebaliknya, juga tidak menyebut secara eksplisit bahwa entitas Desa dan Kelurahan berada di luar ruang lingkup tugas KSAP.
Sejak awal (yaitu 2003), KSAP menyadari bahwa desa (sekitar 72.944 desa), kelurahan (8.309 kelurahan) dan dusun (mungkin sekitar 150.000 dusun) merupakan bagian integral pemerintah daerah otonom. Pada cetak biru atau rancang bangun 2003 menuju PP 24/2005, KSAP menentukan batas terbawah entitas adalah Kabupaten dan Kota, bukan desa apalagi dusun, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Setiap desa memperoleh alokasi dana dari APBN sebesar Rp1 miliar ditambah sumber dana lain, yang ditinjau dari sisi manfaat sangat luar biasa. Dengan adanya dana desa, diharapkan pengangguran dan kemiskinan berkurang. Apabila desa sejahtera terwujud semua masyarakat bahagia maka dapat dikatakan ekonomi kerakyatan sudah berhasil.
Dana desa ini harus didukung terus agar masyarakat desa tidak perlu urbanisasi ke kota. Pertanyaan yang muncul sehubungan dengan adanya dana desa yang besar, dengan kondisi desa yang bermacam-macam, dengan berbagai dana pendamping yang masih banyak permasalahan serta penguatan kelembagaan yang masih baru, adalah bagaimana dengan akuntabilitasnya?
Pada 2016 (tahun kedua) ini, DJPK akan menyalurkan dana desa dengan skema 60% pada bulan Maret dan 40% di bulan Agustus yang berubah dari tahun sebelumnya yaitu 40%, 40%, dan 20%. Sampai saat ini belum banyak disalurkan karena belum ada pertanggungjawaban dana desa tahun sebelumnya (tahun 2015) yang merupakan salah satu syarat pencairan dana. Artinya, yang dibutuhkan masyarakat desa adalah laporannya dulu, sistemnya dulu, yang sesederhana mungkin. Uang masuk dari mana dan digunakan untuk apa.
Beberapa pertanyaan dari sisi akuntansi desa :
Pertama, desa sebagai entitas yang harus diaudit atau tidak? Apakah entitas akuntansi atau entitas pelaporan?
Kedua, jika memang sebagai entitas yang diaudit, apakah desa itu sendiri? Ada opini BPK untuk masing-masing desa? Atau desa bagian integral dari kabupaten/kota?
Bahwa perlu akuntabilitas keuangan desa. Namun, masalahnya siapa yang meng-approve akuntabilitasnya. Inilah yang perlu dikembangkan. Kalau pertanggungjawaban keuangan pemerintah desa diaudit BPK maka harus ada standar, apabila tidak maka cukup dengan pedoman sistem keuangan saja.
Bahwa desa itu sebagai entitas pelaporan, artinya harus membuat laporan keuangan dan melaporkannya. Pertanggungjawaban keuangan desa selama ini mengacu pada Permendagri. Desa membuat Peraturan Desa APBDes untuk penyusunan dan pertanggungjawaban.
Peran Camat akhir-akhir ini seperti tidak berfungsi, gaji besar namun tidak punya peran apa-apa. Ke depan koordinasi dan evaluasi dana desa akan diarahkan ke Camat. Apabila nanti standar akuntansi desa sudah dibuat, siapa yang meyakini bahwa desa dalam membuat laporan keuangan telah sesuai dengan standar. Telah terjadi beberapa kali sosialisasi Ikatan Akuntan Indonesia dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan tertengarai bahwa semangat desa itu luar biasa. Tertengarai pula bahwa di antara berbagai desa, terdapat kompetisi yang sehat. Tertengarai bahwa kompetisi tersebut berakibat baik pada pembangunan dan pemeliharaan fasos-fasum, antara lain ditemukan bahwa kualitas pekerjaan jalan desa menjadi lebih baik karena dikerjakan sendiri oleh desa tersebut daripada diborongkan. Dengan demikian dana desa berpotensi memberi dampak biliar atau multiplier effect. Pembangunan desa juga bertujuan memerangi pengangguran, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Bahwa untuk menyusun standar akuntansi desa, satu satunya standar setter yang dibentuk berdasar amar UU Keuangan Negara memang Komite Standar Akuntanasi Pemerintahan (KSAP). KSAP yang mesti menyusun Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa. Perlu sekali standar keuangan desa. Kemudian dasar hukumnya yaitu harus Peraturan Pemerintah.
Standar ideal adalah standar yang dibuat agar diterima (general accepted) desa se-Indonesia dengan segala heterogonitasnya. Dalam UU Desa, pendidikan minimal perangkat desa SMA sedangkan kepala desa yaitu SMP. Jadi standar dibuat sesederhana mungkin, artinya standar SMP. Yang paling penting bahwa penyusunan laporan keuangan bukan paksaan tetapi sukarela, bukan pada rule based tetapi principle based dan voluntary based. Standar Pelaporan Keuangan Desa harus dibuat se-low level mungkin, diterima semua pihak tanpa bantuan konsultan atau pakar.
Selain BPKP yang bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dalam membuat komputerisasi pedoman dan aplikasi pertanggungjawaban keuangan sesuai Permendagri, IAI juga telah memfasilitasi dan mendampingi desa. Direncanakan bahwa pada bulan Mei 2016 akan diresmikan kelembagaan atau fungsi pendamping desa, yang akan diwisuda oleh Gubernur di depan Presiden NKRI.
IAI sudah memiliki Quality Assurance, supaya terjadi sinkronisasi antar semua perwakilan IAI. Apabila ada perbedaan, dapat disamakan dalam Panduan Pendamping Desa, dengan pelatihan dan sertifikasi IAI. Bahwa KSAP sedang dalam proses penyusunan standar yang sudah dikomunikasikan dengan BPK.
Dalam area governance, KSAP membahas beberapa hal yang menyangkut aturan yang sebaiknya disusun sebagai panduan berbentuk Standar Akuntansi bagi aparat desa. Siapa dan bagaimana yang akan menyusun standar akuntansi. Meski dalam aturan UU, jelas bahwa KSAP sudah diberi tugas dan mandat untuk menyusun standar akuntansi pemerintahan (SAP). Jika bicara pemerintahan maka lingkupnya Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Namun karena kesantunannya, KSAP ingin mengajak bicara agar keputusan yang diambil ownershipnya disemua regulator. Apakah implikasinya kemudian desa itu tidak akan diaudit jika tidak ada standar? Jika desa merupakan entitas sendiri yang terpisah dari kabupaten/kota, suka tidak suka harus diaudit. KSAP meneruskan rencana yang telah dilakukan. Rencana untuk terus melakukan konsultasi pada stakeholder akan terus dilakukan. Pada saatnya nanti jika akan dilakukan public hearingtentu akan disampaikan kepada stakeholder.
Bahwa kita melihat adanya fenomena dana-dana dari pemerintah ke desa. Aturan-aturan yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri perlu dipayungi oleh standar. Praktik yang ada harus ada standarnya. Secara Undang-undang, standar akuntansi pemerintahan (SAP) disusun oleh Komite Standar. Dari sudut pandang proses, KSAP sudah menyiapkan tim dan melakukan riset sebagai persiapan menyusun standar akuntansi pelaporan keuangan desa. Sebagai langkah selanjutnya, KSAP ingin memastikan bahwa setiap stakeholder mempunyai kesamaan pendapat dan pikiran. Bahwa KSAP sudah menghubungi Dirjen Bina Pemerintahan Desa, untuk bersama-sama mendorong akuntabilitas di desa. Pertanggungjawaban keuangan desa diatur dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, namun belum ada standarnya. Bagaimana kita menyamakan persepsi perlu atau tidak membuat standar. Bahwa Permendagri telah mengatur mengenai penatausahaan keuangan dan aset desa, suatu praktik yang mengarah pada sistem di desa.
Bahwa desa adalah entitas pelaporan. Dalam kerangka konseptual jelas disebutkan yang membedakan entitas akuntansi dan entitas pelaporan. Salah satu ciri dari entitas pelaporan bahwa pemimpinnya dipilih melalui pemilihan, terlepas bagaimana nanti auditnya. Desa itu adalah entitas pelaporan ada pada Paragraf 11 PSAP 11. Sebagai entitas pelaporan adalah dibiayai oleh APBN/APBD, dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, pimpinan adalah pejabat pemerintah yang diangkat dan dipilih oleh rakyat, entitas membuat pertanggungjawaban, baik langsung atau tidak langsung kepada wakil rakyat.
Mengapa perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa. Untuk desa dibuat standar sendiri, namun, jika setara Standar ETAP DSAK-IAI mungkin terlalu tinggi, lebih tepat selevel dengan standar akuntansi UMKM yang disusun IAI. Laporan ini akan memberikan gambaran tentang performance namun hanya highlight. Tidak cukup dari sisi keuangan, ada kinerja kunci dari laporan keuangan ini. Mungkin cover muka 1-2 lembar cerita apa yang dikerjakan desa dalam aspek kinerja.
Mengapa Perlu Standar Pelaporan Keuangan Desa:
- Desa melakukan pengelolaan keuangan desa dan membuat pertanggungjawaban;
- Terdapat alokasi Dana Desa dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah;
- Tuntutan akuntabilitas dari masyarakat atas pengeloaan keuangan Desa;
- Desa adalah unit pemerintahan daerah terkecil, sebagai bagian integral dari akuntansi pemerintah daerah Kabupaten atau Kota dalam NKRI, maka pertanggungjawaban keuangan Desa sebaiknya diatur secara nasional.
- Akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan Desa.
Dari perspektif Kementerian Dalam Negeri, Kemendagri telah membuat Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Desa berkewajiban untuk menyampaikan laporan desa (LRA dan neraca) untuk dievaluasi oleh Kabupaten/Kota. Laporan Keuangan Desa lepas, tidak terintegrasi dan tidak digabungkan, dilampirkan juga tidak. Dalam perspektif seperti itu, desa tidak diletakkan sebagai entitas akuntansi namun entitas pelaporan. Yang minus dari regulasi adalah standar. Betul-betul baru dalam tataran sistem dan prosedur, standar pelaporan keuangan desa belum ada. Peraturan Desa ada dua ; yaitu Peraturan tentang APBDes yang dibuat dengan Badan Permusyawaratan Desa dan peraturan tentang pelaporan keuangan Desa. Permendagri memang tidak menyinggung tentang audit dan standar, hanya terbatas pada sistem.
Jika dilihat dari naturenya – transaksi bisnis pendapatan dan belanja – pemerintah desa itu independen, desa sebagai entitas pelaporan. Terpisah dari entitas kabupaten/kota. Dari sisi peraturan perundang-undangan, desa sebagai pemerintah tersendiri. Bahkan proses penganggarannya pun ada badan tersendiri. Jadi tidak masuk dalam APBD Kab/Kota. Dalam peraturan disebutkan bahwa pertanggungjawaban sampai pelaporannya di Menteri Dalam Negeri. Namun, tidak ada pernyataan harus diaudit oleh BPK dan tidak dibilang disusun sesuai standar. Hal itu menjadi salah satu lubang dari sisi peraturan perundang-undangan. Aspek ketiga yaitu kapasitas. Adanya Standar Pelaporan Keuangan Desa supaya ada acuan dalam membuat laporan keuangan desa. Jika berbentuk standar, KSAP harus melihat PSAP Nomor 01, Kerangka Konseptual dan melihat lagi aturan Pemerintah, apakah ada pembatasan ruang lingkup atau bisa dibuat standar sendiri. Walaupun di bawah kabupaten/kota tapi desa merupakan entitas sendiri yang mandiri. Kekhawatiran jika tidak ada aturan/standar – seperti pemerintah pada saat pertama kali membuat laporan keuangan – repot dalam mengisi angka-angka di neraca. Terakhir tentang kapasitas desa, jangan sampai akuntansi justru membebani penyelenggaraan pembangunan di desa. Jangan sampai sumber daya di desa habis untuk menyusun laporan keuangan saja. Desa merupakan entitas independen dan entitas pelaporan maka harus diaudit. Yang masih jadi pertanyaan, mengapa pertanggungjawabannya ke kabupaten/kota, seharusnya pertanggungjawaban keuangan desa disampaikan kepada semacam DPR/Badan Permusyawaratan Desa.
Perlunya standar pemerintah desa lebih tepat ditanggapi oleh Ditjen Bina Pemerintahan Desa sebagai end user. Dulu desa hanya mengelola 50 juta, namun sekarang mengelola hampir 800 juta. Terjadi gungangan budaya (culture shock) dalam pemerintahan desa Gubernur Jawa Timur sampai menyampaikan kepada aparat desa agar tidak takut menggunakan dana desa. Jika dibuat standar maka standar tidak terlalu tinggi dan perlu pentahapan. Jangan sampai uang di desa itu habis untuk konsultannya.
NKRI perlu standar desa dan harus ada opini dari BPK untuk Laporan Keuangan Desa. Bahwa Desa merupakan entitas independen bukan bagian dari kabupaten/kota. Berita baik bagi Pemda Kabupaten/Kota, bahwa opininya tidak dipengaruhi oleh Laporan Keuangan Desa. Independensi desa menyebabkan tidak dikaitkan dengan kabupaten/kota. Apabila laporan keuangan desa dilampirkan juga indah, tapi tanpa pengaruh opini atas kabupaten/kota.
Standar Laporan Keuangan Desa sebaiknya dibuat seringan mungkin. Mengambil hikmah bahwa standar syariah dan standar ETAP tidak perlu menggunakan fair value accounting seperti SAK (besar), Laporan Keuangan desa tak perlu akrual paripurna, apabila KSAP nanti sepakat membuat sebuah set standar lebih sederhana seperti Standar ETAP dibanding SAK (besar). KSAP selalu berjuang untuk tidak mempersulit desa, sebaliknya kalau dapat Standar Laporan Keuangan Desa meningkatkan kedigdayaan desa – sebagai ujung tombak NKRI. Dalam sejarah pembangunan standar, KSAP selalu bersinergi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. Terkait akuntansi pemerintahan, semua pihak sadar, bahwa derajat dari Peraturan Pemerintah (Standar) akan mengungguli Peraturan Menteri. Maka jika ada perbedaan maka Peraturan Menteri tersebut diamandemen sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Standar). Dalam praktik yang ada sebelumnya, sudah biasa Peraturan Menteri muncul lebih dahulu daripada Peraturan Pemerintah.
Konsultan akuntansi desa sebaiknya dibatasi, jangan sampai konsultan oportunis yang memanfaatkan kesempatan aliran dana desa. Desa membutuhkan aplikasi/sistem akuntansi gratis.
Masalah sumber daya, sebagai masalah utama, APBDes dapat mengalokasikan dana pengadadaan SD Desa. Untuk pengadaan SDM, desa mungkin bisa mempekerjakan akuntan khusus yang mengurus pelaporan desa.
Gagasan pembuatan Standar Akuntansi Desa. Bahwa terkait standar pelaporan keuangan desa menurut Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi harus melihat SDM yang ada di desa, karena itu seyogyanya standar yang dibuat mewakili desa dari Sabang sampai Merauke. Bahwa Laporan Keuangan Desa itu penting, pelaporan keuangan tersebut tidak hanya sekedar pelaporan aliran dana APBN karena desa sendiri punya kepemilikan atas desa itu sendiri. Dalam pembangunan transparansi, siapa pun di desa dan masyarakat dapat melihat laporan tersebut. Standar akuntansi & pelaporan memang harus sederhana. Kementerian Desa PDTT telah menyiapkan pendamping desa, untuk kabupaten ada 4-6 orang, kecamatan 2 orang, dan 1 orang untuk mendampingi 3 desa, sehingga standar akuntansi sederhana dapat disampaikan dan dilatihkan oleh para pendamping tersebut kepada aparat dan kepala desanya.
BPKP telah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mengembangkan Sistem Informasi Keuangan Desa (SISKEUDES). Dalam aplikasi sekali entry sumber dana bisa terinput. SISKEUDES telah diuji coba di Kabupaten Mamasa. Dirjen Bina Pemerintahan Desa mengeluarkan Surat Edaran (SE) ke seluruh Gubernur dan walikota untuk mengimplementasikan SISKEUDES ke seluruh desa. Jika KSAP ingin berdiskusi BPKP membuka tangan lebar.
KSAP dapat meneruskan rencana penyusunan Standar Akuntansi Pelaporan Keuangan Desa, dan agar dalam penyusunan standar senantiasa berkoordinasi dengan para stakeholders keuangan Desa. Standar diharapkan sederhana sehingga mudah diterapkan oleh Desa.
Amar UU Keuangan Negara tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan tentang pendirian Komite Standar nan indipenden menghasilkan PP 24/2005 dan PP 71/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). UU Keuangan Negara tidak memberi batasan tentang entitas Laporan Keuangan. Pada tahun 2003 KSAP menetapkan entitas pelaporan Laporan Keuangan adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu kementerian, lembaga nonkementerian, kabupaten dan kota.
Desa dan kelurahan tidak disebut-sebut secara eksplisit dalam SAP umumnya, pada konsep entitas akuntansi dan/atau entitas pelaporan Laporan Keuangan Pemerintahan khususnya. Rancang bangun SAP secara eksplisit mewajibkan pemerintah pusat cq kementerian, lembaga negara non kementerian, pemerintah daerah cq kabupaten dan/atau kota mandiri.
SAP sebaliknya, juga tidak menyebut secara eksplisit bahwa entitas Desa dan Kelurahan berada di luar ruang lingkup tugas KSAP.
Sejak awal (yaitu 2003), KSAP menyadari bahwa desa (sekitar 72.944 desa), kelurahan (8.309 kelurahan) dan dusun (mungkin sekitar 150.000 dusun) merupakan bagian integral pemerintah daerah otonom. Pada cetak biru atau rancang bangun 2003 menuju PP 24/2005, KSAP menentukan batas terbawah entitas adalah Kabupaten dan Kota, bukan desa apalagi dusun, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Sebuah standar akuntansi harus mencakupi berbagai kegiatan keuangan entitas Laporan Keuangan. Karena itu dasar standar adalah entitas yang diwajibkan melaksanakan standar. KSAP membatasi dengan sengaja pada tataran KL, Kabupaten dan Kota saja.
- KSAP secara sengaja tidak menyebut-nyebut desa sebagai batasan entitas Laporan Keuangan karena menengarai senjang kemampuan desa untuk tatakelola keuangan dan perbendaharaan. Apabila Desa berdampingan dengan K/L, Kabupaten/Kota dipertimbangkan sebagai entitas dalam rancang bangun PP 24/2005, maka desain tiap nomor PSAP (dengan memertimbangkan ukuran dan SD Desa yang jauh lebih kecil dari Kabpuaten/ Kota) menjadi tidak mungkin dilakukan (impossible design).
- Sebaliknya, tingkat resistensi pelaku akuntansi dan KL membawahi pemda akan optimal, apabila pada PP 24/2005 SAP telah mewajibkan desa untuk mengikuti PP tersebut, dipastikan berakibat SAP akan ditolak untuk diterapkan. Dugaan tersebut amat benar, karena tanpa memasukkan entitas desapun terjadi resistensi tinggi penerapan PP 24/2005 pada berbagai kabupaten atau kota.
- Terdapat kemungkinan besar BPK akan menolak bakalan PP 24/2005 apabila Desa masuk sebagai entitas Laporan Keuangan.
- Perlu dicatat, ada era 2005/2010, desa masih berstatus obyek, bukan subyek pembangunan. Dengan UU Desa 2014, Desa menjadi subyek, menjadi aktor pembangunan NKRI.
Pada era waktu 2007-2010, rancang bangun bakalan PP 71/2010 akrual disusun KSAP berdasar pemantauan KSAP akan tingkat keterterapan PP 24/2005 pada tataran K/L, Kabupaten dan Kota, disimpulkan bahwa penerapan SAP belum memuaskan, belum merata, belum diterapkan sebagian entitas, dan perolehan opini WTP masih amat sedikit. Hal ini menyebabkan PP 71/2010 juga belum memasukkan Desa dalam definisi entitas.
Tujuan utama KSAP adalah agar seluruh entitas pelaporan berbentuk K/L dan Pemerintah Daerah (belum termasuk desa) mampu menerapkan PP 24/2005 dan selanjutnya mampu melaksanakan akuntansi berbasis akrual mulai tahun buku 2015.KSAP bekerja keras melengkapi PSAP dan memberi sarana kemudahan dengan pembuatan berbagai buletin teknis.
Tiba tiba pada tahun 2014/2015 muncul fenomena baru yaitu (1) DPR mengesahkan UU Desa, (2) Kabinet mendirikan Kementerian Desa dan (3) alokasi APBN kepada desa. Maka muncul kebutuhan sarana pertanggungjawaban keuangan desa, mungkin dalam bentuk Administrasi Keuangan atau Perbendaharaan Desa atau Standar Akuntansi Pemerintah Desa.
Risalah urgensi sebuah Standar Akuntansi Pemerintah Desa:
- Bahwa pembangunan GCG pemerintah Desa adalah perwujudan pemerintahan NKRI berbasis tatakelola nan baik dan UU Desa.
- Bahwa pertanggungjawaban keuangan Desa sesuai UU Keuangan Negara, Perbendaharaan, Pemeriksaan Keuangan Negara umumnya, alokasi APBN kepada Desa khususnya merupakan tolok ukur sukses PP dan Pemerintahan Daerah.
- Bahwa pertanggungjawaban Keuangan Desa termasuk dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah, karena itu harus selaras dengan Laporan Keuangan Pemerintahan cq Standar Akuntansi Pemerintah NKRI.
- Agar sinkronisasi Pelaporan Keuangan Desa dgn Laporan Keuangan pemerintahan selebihnya, pengaturan pertanggungjawaban keuangan Desa harus dirumuskan dalam bentuk Standar.
- Bahwa KSAP harus melaksanakan tugas tersebut dalam tempo sesingkat – singkatnya dalam bentuk PSAP Desa dalam rumpun PP 71 Akuntansi Pemerintahan.
Lima Belas alasan mengapa KSAP sebaiknya diminta pemangku kepentingan untuk menyusun PP tentang Akuntansi keuangan Desa adalah sebagai berikut :
- Karena KSAP satu-satunya standard setter SAP NKRI didirikan berdasar UU Keuangan Negara, karena Desa adalah unit pemerintahan daerah terkecil, sebagai bagian integral dari akuntansi pemerintah daerah Kabupaten atau Kota dalam NKRI, maka pertanggungjawaban keuangan Desa sebaiknya diatur oleh sebuah PSAP dalam SAP yang telah memberi standar akuntansi bagi Kabupaten/Kota.
- Pertanggungjawaban keuangan desa sudah diatur dalam UU Desa, yang akan menjadi dasar penyusunan PSAP Desa. Terdapat dua kemungkinan PSAP Desa, (1) PSAP tentang Laporan Keuangan Desa, atau (2) PSAP tentang Pertanggungjawaban Keuangan Desa sebagai Lampiran Laporan Keuangan Kabupaten/Kota.
- Sinkronisasi aturan akuntabilitas desa dengan SAP adalah penting, karena terdapat kemungkinan Laporan Keuangan Desa dilampirkan kepada Laporan Keuangan Kabupaten atau Laporan Keuangan Kota Mandir, apabila KSAP menetapkan Laporan Keuangan Desa dalam PSAP Desa.
- Apabila terdapat kemungkinan Desa tidak membuat Laporan Keuangan Desa, apabila KSAP – dalam PSAP Desa – menetapkan Pertanggungjawaban Administrasi Keuangan Desa sebagai lampiran Laporan Keuangan Kabupaten/Kota.
- Agar akuntansi Desa terintegrasi dengan SAP, yaitu agar akuntansi desa koheren, harmonis, tidak bertentangan dengan SAP,PSAP atau Buletin Teknis. Apabila penyusun standar akuntansi desa bukan KSAP, maka muncul dua standard setter akuntansi pemerintahan, yang tak selalu dapat seiring sejalan, akan menjadi fenomena buruk bagi NKRI. Apabila sebuah kementerian berinisiatif membangun pedoman akuntansi desa, atau sistem akuntansi desa, dikhawatirkan rancang bangun tersebut tak selaras dengan SAP dan Buletin teknis PSAP. Karena penerima amar UU Keuangan Negara untuk urusan akuntansi pemerintahan adalah sebuah komite yang dibentuk pemerintah NKRI cq KSAP, maka sebaiknya pertanggungjawaban keuangan desa berderajat PSAP.
- Apabila diserahkan kepada KSAP, draft PSAP Desa akan ( sesuai UU Keuangan Negara) mendapat pertimbangan BPK sebelum disahkan KSAP, karena itu memeroleh legitimasi sesuai UU Keuangan Negara.
- Apabila diserahkan kepada KSAP, maka proses penyusunan akan sesuai dengan due process KSAP yang mencakupi dengar pendapat publik dan gugus kendali mutu paripurna, sebelum disahkan sebagai standar.
- Apabila diserahkan kepada KSAP, pengaturan tentang keuangan desa tersebut berderajat Peraturan Pemerintah yang berlegitimasi & diakui lintas K/L dan pemerintah daerah. Standar Akuntansi Desa tidak mungkin dibuat suatu kementerian.
- KSAP telah berpengalaman dalam penyusunan dan memikul beban moral dan teknis akibat pemberlakuan suatu produk KSAP sepanjang 10 tahun, sehingga merupakan lembaga paling ideal di Indonesia untuk ditugasi menyusun peraturan akuntansi dan pelaporan keuangan Desa.
- Kemampuan akuntansi dan bahasa adalah utama. Penyusunan suatu produk hukum berdimensi akuntansi membutuhkan kumpulan pakar (1) berpengetahuan standar akuntansi dunia dan NKRI, (2) berpengalaman praktik akuntansi pemerintahan sebagai pekerjaan sehari hari, dan (3) berkesadaran bahasa nan tinggi, mengetahui konsekuensi pembuatan kalimat dan berkemampuan memilih kosakata akuntansi dan kosakata hukum tatanegara. Kumpulan pakar tersebut terbagi menjadi Komite Konsultatif, Komite Kerja, Kelompok Kerja, Manajemen KSAP berjumlah kurang lebih 50 orang melalui seleksi ketat perilaku negarawan nan berhati hati dan kepakaran akuntansi yang kemudian dibuktikan oleh IKU dan IKI nan memuaskan.
- Sepanjang hampir 15 tahun KSAP biasa bekerja sepenuh tahun, dengan pertemuan minimum mingguan, biasanya hari Rabu, sehingga rancang bangun PSAP Desa dipastikan berkualitas. KSAP mengadakan rapat luar bniasa, temuwicara dengan pemangku kepentingan, dalam pola tidak dipastikan, sepanjang tahun. Dengan demikian, aspirasi dan kesulitan lapangan dari kepala Desa dan aparatnya, dapat ditampung oleh KSAP.
- Dari aspek moral dan etika, KSAP memenuhi syarat sebagai petugas penyusun akuntansi dan pelaporan keuang desa karena persyaratan indipendensi dari kepentingan kelompok (jabatan, K/L atau Pemda tempat kerja) atau pribadi (vested interest), menyebabkan rancang bangun produk berciri pengutamaan kepentingan nasional NKRI.
- Pada waktu UU Desa terbit tahun 2014, Ketua KSAP meminta studi pustaka, studi lapangan dan naskah akademis tentang keuangan Desa, sebagian sudah dimuat pada majalah maya KSAP. Dengan demikian, KSAP kini berada dalam posisi siap ditugasi untuk menyusun PSAP Desa. Sesuai butir 7 tersebut di atas, KSAP akan melakukan Dengar Pendapat Publik untuk menampung berbagai aspirasi sebagai bahan penyusunan dan/atau finalisasi PSAP Desa. Di dalamnya termaktub kepedulian dan pertimbangan KSAP akan kondisi SDM Desa, besar desa, endowmen desa dan besar aliran APBN pertahun ke desa.
- Apabila KSAP tidak mengatur dan/atau membuat PSAP Desa, KSAP berwenang untuk membuat BuletinTeknis PSAP CALK tentang Informasi Keuangan Desa Yang Wajib Dilaporkan dalam Laporan Keuangan cq CALK Kabupaten.
- Dalam tugasnya, KSAP akan selalu berkoordinasi dengan Kemenkeu, Kemendagri dan Kementerian Desa sedemikian rupa agar PSAP Desa menjadi semacam nota kesepahamanan tentang pertanggungjawaban keuangan desa.
Siklus Pengelolaan Keuangan Desa |
***
2 komentar:
https://youtu.be/KK5JIHmQLDs
Kenapa Kewengan lembaga BPD tidak pernah di singgung dalam pengawasan pengelola dan pertanggung jawaban dana desa
Posting Komentar